Senin, 15 Maret 2010

Hargailah Anak Sesuai Keberadaannya

Pada iklan sebuah produk di televisi ditayangkan seorang ibu yang heran seorang teman anaknya lebih tinggi dibandingkan anaknya. Bahkan sangking penasaran ia lalu menjejerkan anaknya sendiri dengan teman anaknya itu dan bertanya kenapa teman anaknya lebih tinggi dibandingkan anaknya. Di iklan yang lain ada tayangan yang serupa tapi tak sama. Di sebuah kelas TK seorang guru meminta murid-muridnya memasangkan mata jerapah di tempat yang tepat pada sebuah boneka jerapah. Anak yang lebih tinggi dapat dengan mudah memasang mata jerapah itu dibandingkan anak yang bertubuh pendek.
Ternyata gambaran serupa bukan hanya terjadi di iklan-iklan, tapi juga dalam keseharian kita sebagai orangtua dan pendidik. “Si Ivan kok bisa dapat 100 kamu cuma 70!!!”. Seringnya kita mendengar orangtua yang membanding-bandingkan nilai ulangan anaknya dengan anak temannya. Bukan itu saja dalam rumah juga seorang anak kerap dibandingkan dengan kakak atau adiknya. “Kamu kok tidak seperti kakakmu rajin...kamu tuh malas banget kalau mama lihat!!!”. Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja membanding-bandingkan anak bukan hal yang jarang kita lihat bahkan kita lakukan.
Sebagai orangtua Anda dan saya tentu menginginkan yang terbaik untuk buah hati kita. Ada beberapa orangtua yang dengan sengaja dan sadar memakai metode membandingkan ini untuk memicu motivasi anaknya untuk menjadi lebih baik bagi anak lain.Memicu daya bersaing, begitu alasannya. Mungkin ada benarnya tapi yang pasti lebih banyak bahayanya.
Apa saja bahayanya?
1. Anak menjadi tidak percaya diri dan cenderung ingin menjadi seperti seseorang seperti yang diinginkan orangtuanya.Bahayanya dia bisa menjadi pribadi yang tidak berkembang sesuai kelebihan yang ada pada dirinya, karena berpatokan pada orang lain yang jelas-jelas berbeda dengan dia.
2. Marah terselubung dalam diri anak baik pada orangtuanya, dirinya sendiri maupun anak yang menjadi patokan perbandingan. Marah ini tidak terlihat secara fisik ketika seseorang masih anak-anak tetapi seperti “bom atom” yang siap kapan saja meledak. Pemberontakkan masa remaja misalnya.
3. Berkembangnya rasa iri atau sirik pada diri anak.
4. Rasa iri atau sirik membuahkan sikap bersaing yang tidak sehat baik dalam pelajaran di sekolah maupun keseharian. Segala cara dilakukan entah baik atau tidak baik untuk menjadi yang terbaik. Sikap ini bisa bertahan hingga dia menjadi dewasa. Ini seringkali terlihat di dunia kerja. Persaingan yang tidak sehat untuk mencapai jabatan tertentu,’ menjatuhkan’ orang lain bila perlu. Di kehidupan bertetangga juga sering terlihat. Kalau ada tetangga yang mempunyai barang baru, muncul keinginan menjadikannya bahan ‘gosip’ atau tidak mau kalah dengan membeli barang yang sama atau lebih bagus dari yang dipunyai tetangganya itu.
Seorang pakar psikologi anak pernah mengatakan bahwa kalau kita memang mau memakai metode perbandingan . Pakailah perbandingan perkembangan dalam diri anak itu sendiri pada periode yang lalu dan sekarang. Misalnya pada raport Andi semester pertama ada satu mata pelajaran yang merah,dibandingkan dengan semester kedua ada dua mata pelajaran yang merah.Itu artinya nilai Andi mengalami kemunduran. Contoh lainnya Ira malas merapikan tempat tidur bulan lalu tetapi bulan ini dia sudah mau merapikan tempat tidurnya tanpa disuruh walaupun tidak serapih kakaknya. Itu artinya Ira mengalami kemajuan dalam kerapihan.
Oleh karena lebih banyak bahayanya dibandingkan positifnya, jauh lebih baik Anda dan saya memilih untuk menghargai anak sesuai kepribadiannya, sesuai minat dan bakatnya, sesuai kelebihan dan kekurangannya, sesuai keunikannya.Hargai anak sesuai keberadaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar